Masa Prasejarah

Kembali ke masa prasejarah, penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus

beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.

Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu

wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti

Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini

sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.1

Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai "penduduk asli Indonesia" adalah kaum Negroid, atau Austroloid,

yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup

secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan

bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya

menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.2 Bangsa Melanesoide

dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.

Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami

berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan.3 Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan

yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden.

Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat

peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya. Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka

adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah

sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan

yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk

tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup menjaga,

apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan

lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara

belum menjadi kepemilikan siapapun. Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal

untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan

(food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan

atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai) walaupun tidak

tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap

walaupun semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka pilihan atas tempat-tempat

yang akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi targetannya.

Padahal, wilayah ini adalah juga wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya. Ini mengakibatkan benturan

yang tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti

kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble,

kapak pendek dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:

1. Penduduk asli ditumpas, atau

2. Mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau

3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani para pemenang perang.4

Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi

yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari

daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang me-nyebabkan bangsa Melayu tua meninggalkan asalnya

yaitu :

1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;

2. Adanya peperangan antar suku;

3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.5

Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan

yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria

dan Mongol. Dari artefak yang ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi.

Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum.6 Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal

budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat

menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen.

Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal.7 Mereka juga mulai membangun

satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka. Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar

membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan

untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu,

pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-peperangan untuk

memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan

penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan

Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai,

Kubu, dan Anak Dalam.8 Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah

di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal

bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.

Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.

Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi,

bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka.

Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia

yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman.

Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan,

orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Irian

dan pulau-pulau Melanesia. Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua

yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu

dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal

logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi.9 Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua

yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa

Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman

seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda

dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.

Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga

yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau

kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran.

Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran

inilah yang menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang bermigrasi ke selatan

dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.10 Sehingga tidak ada penduduk

atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang ditemukan fosil-fosilnya.11

Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan

sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya

dan terlebur di dalam masyarakat baru.12 Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.

 

Bahan bacaan D. G. E. Hall. Sejarah Asia Tenggara. Cet.I. Surabaya-Usaha Nasional. 1988

Stanley. Makalah Arus Dari Utara. 1998

T. Parakitri Simbolon. Menjadi Indonesia, buku I "Akar-akar kebangsaan Indonesia". Cet.I. Jakarta-Kompas-Grasindo. 1995.

Dr. M. Prijohutomo & P.J. Reimer. Tentang Orang dan Kejadian Jang Besar Djilid I. Tjet.V. Djakarta-Amnsterdam: W.Versluys N.V.

Pramoedya Ananta Toer. Hoakiau di Indonesia. Jakarta-Garba Budaya.1998

 

Masa Kerajaan-kerajaan Kuno Nusantara

Perkembangan migrasi dari dan ke Nusantara, terutama setelah semakin menetapnya penduduk Nusantara,

menyebabkan perkembangan dalam jumlah surplus produksi yang dihasilkan di sektor pertanian. Ini adalah hal yang sangat dimungkinkan

oleh tingkat kesuburan tanah Nusantara di pulau-pulau yang menjadi sasaran migrasi. Perkembangan teknologi dan sistem nilai

dalam masyarakat semakin lama semakin maju. Perkembangan teknologi dan sistem nilai ini tidak pula dapat dilepaskan

dari perkembangan sistem nilai secara mendunia -terutama yang terjadi di daratan Asia, terutama Asia Tengah dan Selatan.

Bahkan, kalau kita menimbang fakta sejarah secara lebih mendalam, faktor yang lebih utama dalam perkembangan ini

justru adalah faktor internasional ini. Perang-perang suku yang berlangsung secara bergelombang antara penduduk setempat

dengan pendatang yang memiliki teknologi lebih tinggi telah menyuntikkan superstruktur baru ke dalam masyarakat Nusantara.

Jaman Imperium Nusantara Perkembangan jalur perdagangan akibat perkembangan teknologi perkapalan juga berpengaruh

pada kebudayaan bangsa-bangsa di Nusantara. Setelah tarikh Masehi, perdagangan memegang faktor kunci dalam perkembangan

peradaban di Nusantara. Secara dialektik, serbuan bangsa Mongol yang memporak-porandakan Tiongkok Utara, dan menyisakan negeri

Sung sebagai negeri yang tergantung pada perdagangan untuk bertahan hidup, telah membuka peluang perkembangan rute dagang

sampai ke daratan Tiongkok.13 Para penghuni kawasan Nusantara mempergunakan kemampuan navigasi yang ditempanya sejak awal

masa migrasi itu untuk keperluan tersebut. Jalur perdagangan ini juga membawa pengaruh perkembangan politik dari daratan Asia

(mainland) ke dalam peradaban penghuni Nusantara. Dalam hal ini, para pedagang India lebih berpengaruh ketimbang para pedagang

Tiongkok karena mereka memiliki kebiasaan menetap di tempat tujuan perdagangan.14 Mereka membangun komunitas dan berinteraksi

dengan penduduk setempat. Melalui interaksi perdagangan ini, agama dan ajaran Hindu menyebar kepada raja-raja Nusantara.

Para raja melihat agama Hindu sebagai alat yang sangat potensial untuk memberikan basis legitimasi pada kekuasaan mereka.15

Agama Hindu yang lebih terstruktur daripada kepercayaan animisme-dinamisme tradisional memberikan kebulatan ideologi

yang lebih ketat terhadap pengakuan bahwa raja adalah utusan tertinggi para Dewa. Ditambah lagi bahwa kebudayaan Hindu yang dibawa

dari India menyediakan aksara, yang merupakan basis bagi perluasan propaganda dan konsolidasi kekuasaan para raja.

Terbukanya superstruktur terhadap sistem kekuasaan baru ini kemudian membuka ruang bagi basis untuk menyerap pula moda produksi

dari India. Moda produksi Asia Daratan ini adalah moda produksi feodalisme, yang tidak didahului oleh suatu hubungan perbudakan

(serfdom) dan tidak mengenal pemisahan kekuasaan politik (raja) dengan kekuasaan ekonomi (tuan tanah, yang kebanyakan adalah

bangsawan atau nobility) seperti yang dikenal di Eropa. Dalam hukum perkembangan masyarakat, moda produksi ini dikenal dengan

sebutan Asiatic Mode of Production. Penyatuan kekuasaan ekonomi dan politik di satu tangan ini juga merupakan daya tarik lain

terhadap sistem nilai dari India. Bahwa alasan ekonomi dan politik merupakan alasan utama bagi penerimaan sistem nilai baru

dari daratan Asia dapat dibuktikan dari pergeseran penggunaan agama Hindu kepada agama Budha ketika mulai timbul kebutuhan

untuk berdagang dengan Tiongkok yang Budhis. Pada abad ke-7, di mana agama Budha mencapai masa kejayaannya di Tiongkok,

penggunaan agama Budha sebagai agama resmi kerajaan akan sangat memperlancar perdagangan dan mempermulus hubungan politik

dengan kaum penguasa Tiongkok. Perdagangan dan perluasan imperium ini demikian berhasil, terbukti dari tidak diharuskannya

rakyat Sriwijaya untuk membayar pajak.16 Hasil dari perdagangan dan upeti dari daerah vasal sudah mencukupi kebutuhan penguasa

Sriwijaya untuk memperkaya diri. Ketika peradaban Tiongkok sudah memungkinkan mereka untuk membangun kapal-kapal besar,

dan dengan demikian membangun armada pedagang dan militer lautnya dengan kuat, perdagangan dengan Tiongkok tidak dapat lagi

dimonopoli oleh pedagang Asia Tenggara.17 Diperlukan satu agama "Siwa-Budha" untuk dapat memperluas pengaruh sampai ke India

yang Hindu. Dengan agama baru ini, imperium Majapahit dapat menggantikan posisi Sriwijaya dalam memonopoli perdagangan.

Agama yang lebih fleksibel ini memungkinkan Majapahit (yang dibangun sejak Kertanegara dari Singasari) dalam memperluas jangkauan

perdagangannya dan menggulingkan imperium perdagangan dari Selat Malaka. Analisa di atas menunjukkan bahwa kaum nobility

Nusantara memiliki watak oportunis dalam menyikapi perkembangan situasi politik internasional. Faktor yang paling mungkin menjadi

penyebab oportunisme ini adalah tidak pernah adanya satu kekuasaan yang berlangsung lama dan kuat di Nusantara.

Mobilitas yang sangat tinggi dan intervensi dari berbagai peradaban menyebabkan tidak pernah ada kestabilan politik yang benar-benar

kuat di Nusantara. Karena itu, oportunisme menjadi jalan keluar yang paling mudah untuk menyikapi kondisi yang terus berkembang

dan berubah ini. Oportunisme ini diteruskan dalam arus pergeseran perdagangan di India yang mulai bergeser ke Gujarat.

Gujarat adalah sebuah daerah kekuasaan yang menganut sistem ekonomi-politik Islam. Islam adalah satu agama yang menganut garis

kepercayaan terhadap satu Tuhan. Kepercayaan semacam ini baru timbul setelah terjadi revolusi di bidang pertanian,

yaitu dengan ditemukannya sistem irigasi. Sistem irigasi ini memungkinkan penjagaan terhadap kesuburan tanah, menghilangkan keperluan

untuk berjaga terhadap keperluan banjir dan kekeringan. Dengan demikian, teknologi irigasi ini mengurangi dengan drastis keperluan

untuk bergantung dari kondisi alam. Secara ekonomi-politik, inilah basis untuk menghilangkan keperluan memuja banyak dewa penguasa

kekuatan alam. Kini, cukup diperlukan satu deity untuk menjaga superstruktur dari kemungkinan goncangan yang kelewat besar dari basis.

Budaya Islam adalah budaya yang mengandung teknologi yang lebih tinggi dan, bersama itu, surplus produksi yang lebih besar.

Perdagangan dengan negeri-negeri Islam membawa kemungkinan lebih banyak keuntungan dan transfer teknologi. Ditambah lagi, Islam

lebih mudah diterima oleh massa karena ia menawarkan konsep bahwa semua orang sama di hadapan Tuhan. Ini adalah satu tawaran

superstruktur yang lebih menarik ketimbang sistem kasta Hindu dan praktek-praktek kaum bangsawan yang dialami selama ini.

Massa rakyat tidak menyadari bahwa kelas penguasa hanya mempergunakan legitimasi agama tanpa kehendak untuk mengubah sistem

penindasan yang dijalankannya selama ini. Terbukti dari praktek penindasan yang tetap bertahan sekalipun agama yang dianut

berganti-ganti.

Kemunduran Kerajaan-kerajaan Nusantara Sampai saat-saat terakhir Imperium Majapahit, yang merupakan imperium terakhir Nusantara,

struktur ekonomi-politik Nusantara bertumpu pada perdagangan dan penguasaan politik-militer secara maritim. Adalah kekuatan angkatan

laut Sriwijaya dan Majapahit yang menentukan penguasaan mereka akan jalur perdagangan laut yang melalui Selat Malaka.

Bahkan, ketika peradaban Islam menggantikan peradaban Hindu dan Budha, tetap kekuatan laut yang menentukan penguasaan kerajaan

Malaka dan Demak terhadap jalur perdagangan strategis Selat Malaka. Kedatangan armada Portugis mengubah keseimbangan kekuatan

di Selat Malaka, dan dengan demikian seluruh keseimbangan kekuatan di Nusantara. Kebudayaan Eropa, yang telah menemukan teknologi

besi cor, memungkinan Portugis memperlengkapi kapal-kapal mereka dengan meriam-meriam yang berkualitas tinggi.18

Dengan meriam-meriam ini, armada Portugis di bawah Alfonso d'Alburquerque yang hanya berjumlah 700 orang sanggup menekuk

armada Malaka yang berjumlah sekitar 100 ribu prajurit. Kedatangan orang-orang Portugis ini juga membawa bersama mereka satu paham

baru yang akhirnya akan menghantui Nusantara: rasisme. Para pedagang Eropa, yang sudah mulai melepaskan paham Merkantilisme

dan memasuki tahap Kolonialisme, telah menjelajahi Afrika dan Amerika Selatan dan menemukan sumber tambang yang luar biasa di sana.

Kekurangan sumber daya untuk melakukan penggalian terhadap tambang-tambang itu membuat Portugis dan Spanyol harus memaksa

penduduk setempat untuk menjadi budak (slave)19 penggali tambang. Penduduk setempat harus dijadikan budak karena akan

sangat tidak ekonomis untuk menjadikan mereka buruh. Teknologi produksi yang ada belum mencukupi untuk proses produksi

yang lebih efisien. Perbudakan ini sangat menyinggung perasaan umat Kristiani yang baru lepas dari penjajahan bangsa-bangsa Moor.

Oleh karena itu, diperlukan satu pemahaman untuk membenarkan proses perbudakan itu. Pemahaman itu kemudian disebut rasisme

karena memperkenalkan konsep ras.20 Dalam konsepsi rasisme, manusia diciptakan dalam ras yang berbeda-beda, yang tidak sama

kedudukannya satu dengan lainnya. Konsep ras ini menggunakan struktur anatomi tubuh (sekalipun merupakan anatomi yang pragmatis

karena hanya melihat ciri-ciri fisik yang kelihatan) untuk membedakan satu ras dengan yang lain. Konsepsi rasisme ini masih ditambah

dengan sentimen anti-Islam yang dipicu oleh penjajahan bangsa Moor selama beberapa abad di Eropa, di mana Portugis dan Spanyol

merupakan dua negeri yang paling menderita akibat penjajahan ini. Merupakan kegembiraan yang sangat bagi prajurit Portugis

ketika mengetahui bahwa penguasaan sektor ekonomi di Malaka juga berarti pukulan terhadap kerajaan-kerajaan Islam.21

Dengan demikian, sentimen rasial dan agama merupakan salah satu sumbangan armada Eropa yang berdagang di Nusantara.

Kekalahan armada laut imperium Nusantara semakin mempersempit ruang ekonomi mereka. Menyempitnya ruang ekonomi ini

semakin melemahkan pengaruh imperium-imperium Nusantara secara politik. Armada-armada laut Nusantara akhirnya menjadi jago

kandang, sekedar menjaga perairan setempat dari bajak-bajak laut. Apalagi kemudian negeri-negeri Eropa yang lain juga menemukan jalan

ke Asia Tenggara. Terjadilah perlombaan untuk menguasai jalur perdagangan yang menggiurkan ini. Terlebih setelah ditemukan

bahwa tanah Nusantara adalah penghasil rempah-rempah yang sangat subur. Rempah-rempah adalah komoditi yang sangat mahal

harganya di Eropa. Para penguasa negeri-negeri Eropa berkeinginan mengambil hak monopoli atas perdagangan dan produksi

rempah-rempah itu. Karena mereka adalah "pemain baru" dalam pasar Asia Tenggara, tidaklah mungkin mereka bersaing

dengan para penguasa kerajaan di Asia Tenggara yang sudah mapan struktur militer dan politiknya. Oleh karena itulah

mereka menempuh jalan penaklukan bersenjata untuk memaksakan ketundukan raja-raja setempat.

Para raja Nusantara bukannya tinggal diam menghadapi keadaan ini. Namun, bahkan setelah mereka membentuk aliansi-aliansi,22

mereka masih tetap mengalami kekalahan-kekalahan berhadapan dengan armada Eropa. Kekalahan-kekalahan ini semakin mendorong

raja-raja Nusantara untuk semakin mundur ke pedalaman, mengubah struktur ekonomi-politiknya dari struktur maritim-ekspansionis

menjadi struktur agraris-konservatif. Sebaliknya, armada Eropa semakin memperluas pengaruhnya dan semakin berani untuk menjelajah

sampai ke pedalaman. Pendaratan-pendaratan armada dagang (yang disertai pasukan bersenjata) mulai turun di berbagai pelabuhan

dan menuntut daerah dagang khusus. Dengan masuknya perusahaan-perusahaan dagang bersenjata dari Eropa ini, dimulailah arus balik

peradaban bangsa-bangsa Nusantara. Berbagai macam nilai yang tadinya diagungkan, kini mulai diharamkan sebagai pembenaran

atas tindakan mundur ke pedalaman yang dilakukan oleh para raja. Perdagangan, yang tadinya menjadi tulang punggung perekonomian

dan dikerjakan dengan bergairah oleh seluruh rakyat, kini menjadi suatu pekerjaan yang dianggap hina dan tidak layak dikerjakan

oleh orang yang terhormat. Ekspansionisme dan semangat menjelajah, yang tadinya merupakan kesadaran rakyat, kini digantikan dengan

semangat menutup diri dan anti-perubahan yang kental. Dari sinilah perkembangan berikutnya, termasuk tumbuhnya jaringan

perdagangan kaum Tionghoa membasiskan diri.

 

Hindia Belanda

Seperti telah dikemukakan dalam bagian terdahulu, para penguasa Jawa mempergunakan berbagai macam pembenaran untuk tindakannya

mundur dari gelanggang pertarungan maritim setelah kekalahannya berhadapan dengan meriam bangsa Eropa. Salah satu pembenaran

yang dikemukakannya adalah bahwa soal dagang adalah persoalan bagi kaum tak terhormat. Kawula yang terhormat tak pantas

melakukan itu. Perubahan pandangan terhadap perdagangan ini membawa beberapa konsekuensi. Konsekuensi yang paling jelas

adalah bahwa orang-orang yang merasa dirinya pribumi 23 menjadi enggan melakukan kegiatan perdagangan.

Padahal, persoalan pengangkutan barang-barang belum lagi ditangani secara terencana -belum lagi ada sistem ekonomi

yang sanggup mengatur perekonomian secara terencana. Akibatnya, sektor perdagangan yang kosong ini banyak diisi

oleh pedagang-pedagang asing.

Kedatangan Pedagang Tionghoa di Indonesia Salah satu pedagang "asing" yang banyak mengisi ruang ekonomi yang lowong ini

adalah para pedagang Tiongkok. Orang-orang Tionghoa mulai datang dan menetap sebagai pedagang pada abad ke-13,

pada waktu Tiongkok dikuasai oleh kaum pengembara dari dataran Mongol. Mereka yang menentang penjajahan bangsa Mongol melarikan

diri ke Selatan dan sampai di pulau-pulau Nusantara. Sebagai perantau, jelas mereka tidak dapat menjalankan pekerjaan tradisional

mereka yaitu bertani. Tidak ada tanah yang tersedia, yang dapat mereka pergunakan untuk bertani. Satu-satunya celah yang terbuka

bagi mereka adalah sektor transportasi barang. Bisa jadi mereka awalnya bekerja sebagai pekerja-pekerja pengangkut barang.

Dengan mengumpulkan hasil dari pengangkutan ini, mereka membangun akumulasi modal. Dengan pola akumulasi merkantilis ini,

mereka akhirnya dapat membangun sendiri satu usaha perdagangan. Ini tidak jauh berbeda dengan lahirnya kelas Merkantil,

cikal-bakal kelas borjuasi kelak.24 Pada abad ke-14 dan 15, di mana dinasti Ming telah menggulingkan dinasti Yuan buatan bangsa Mongol,

para penguasa Tiongkok makin melihat pentingnya Asia Tenggara sebagai jalur perdagangan. Maka, diutuslah panglima Cheng Ho

untuk misi penaklukan sosial di Jawa. Di beberapa tempat, seperti Semarang, ia demikian berhasil membangun tempat itu menjadi

bandar yang besar. Para pedagang Tionghoa yang telah lebih dulu menetap tentunya menjadi fasilitator bagi perdagangan ini,

seperti yang dilakukan pedagang India di masa yang lebih dahulu.

Perkembangan dan Politik Serikat Dagang Hindia Belanda Sementara itu, serikat-serikat dagang Belanda telah berhasil

mengkonsolidasikan dirinya dan merebut Jayakarta dari tangan penguasa setempat. Jayakarta sebagai bandar memang tidak sepenting

Banten, Cirebon, atau Demak. Tapi, ia terletak di jalur penghubung yang penting antara kerajaan-kerajaan itu dan urat nadi komando

politik Demak pada seluruh kekekuatan Islam di Jawa. Perebutan Jayakarta, dan pengubahannya menjadi Batavia memiliki arti penting

lainnya. Pertama, dengan direbutnya Jayakarta, VOC memiliki satu titik berkumpul bagi seluruh armadanya. Ini sangat berguna

bagi konsolidasi kekuatan VOC dalam rangka merebut Malaka kelak.25 Kedua, Jayakarta direbut dengan menggunakan tenaga kuli

dari mancanegara sebagai pekerja pelayan kebutuhan VOC. Dalam saat-saat konsolidasinya, VOC tidak berani menyerahkan pelaksanaan

kegiatan penunjang aktivitas militernya pada warga setempat yang tidak dapat dijamin loyalitasnya. Maka itu, VOC membawa

banyak warga Belanda, kuli-kuli yang dirampas dari hasil penyapuan militer di Fukien dan Kwantung,26 dan tentara bayaran dari Jepang.

Ketiga, VOC segera menyadari pentingnya pedagang-pedagang Tionghoa: mereka orang pekerja keras, punya akses pada pedagang

dari daratan Tiongkok, dan akan segera berperan penting setelah kemunduran pedagang-pedagang setempat.

Para pedagang Tionghoa ini dikumpulkan dengan umpan jatah catu yang tinggi, penculikan,27 pengepungan ekonomi untuk memaksa

para pedagang mencari pasar yang baru,28 atau paksaan lewat ordonansi yang mengharuskan semua orang Tionghoa berkumpul

di Batavia. Pada gilirannya, terkonsentrasinya pedagang Tionghoa di Batavia menyebabkan semakin mundurnya perdagangan

di negeri-negeri lain, terutama perdagangan luar negerinya.29 Sejak konsolidasi awal Batavia, VOC sudah menerapkan prinsip segregasi

yang ketat.30 Segregasi ini dilakukan berdasarkan agama, asal-usul keturunan, apa saja yang dapat membuat pemisahan dalam masyarakat.

VOC menyadari bahwa betapapun tingginya teknologi persenjataan mereka, tanpa kooperasi dari agen-agen setempat, mereka tidak akan

bertahan lama -terlebih menghadapi persaingan dengan negeri Eropa lainnya. VOC juga membuat pemilahan dengan memberi

pengistimewaan terhadap golongan-golongan tertentu dalam masyarakat Batavia. Kaum Tionghoa dan Jepang, misalnya,

mendapatkan keistimewaan dalam hak berdagang secara monopoli. VOC sangat ketakutan dengan kemungkinan terjadinya pembauran

antar berbagai kelompok masyarakat. Dari ketakutan inilah timbul pembagian kategorisasi antara "warga kota Batavia"

(inheemsche ingezetenen) dengan "penduduk bumiputera" (inlander). Ini terjadi setelah gejala pembauran dan perkawinan antar ras 31

antara para pedagang Tionghoa dengan penduduk Banten dan orang-orang Jawa.32 Seperti juga yang terjadi di Ambon,

di mana ada penggolongan "Ambon Kristen" dan "Ambon Islam" (1663). Golongan "Ambon Islam" diawasi secara khusus oleh pasukan

Belanda, diharuskan tinggal dalam wilayah yang sudah ditetapkan lebih dahulu, diterapkan berbagai larangan bergaul

dengan kelompok lain, dan hukuman berat menanti bagi yang melanggar.33 VOC kemudian memutuskan untuk menjadikan Batavia

sebagai pusat kolonialisasi Nusantara. Ini adalah keputusan yang sesungguhnya agak pragmatis. Namun, keputusan ini adalah yang terbaik

yang dapat dikeluarkan oleh VOC pada waktu itu. Batavia sudah terbukti dapat menjadi pangkalan yang kuat dari armada laut VOC.

Bentengnya dapat bertahan dari ancaman-ancaman berbagai penguasa di sekitarnya. Jadilah Batavia sebagai titik pangkal

berbagai ekspedisi VOC (dan kemudian Pemerintah Kolonial Hindia Belanda) untuk memperluas koloninya di Nusantara.

Keputusan ini memiliki implikasi yang luas. Salah satunya adalah bahwa kekayaan alam yang berhasil diambil oleh armada Belanda

haruslah dikirimkan ke bentengnya yang terkuat: Batavia. Sangat tidak ekonomis kalau harus membangun begitu banyak benteng

-bentuk Nusantara yang kepulauan sangat membutuhkan ini kalau mereka bertekad melakukan kontrol penuh atas daerah pendudukan.

VOC telah memulai tradisi penyedotan pusat atas kekayaan daerah.

Perkembangan Perdagangan Pedagang Tionghoa Pemanfaatan pedagang Tionghoa oleh VOC ternyata bukan pada persoalan distribusi

barang-barang (terutama perdagangan eceran)34 semata. Para pedagang Tionghoa ini juga dipergunakan oleh VOC untuk mengadakan

pemungutan-pemungutan pajak. Tindakan ini dianggap begitu strategis bagi monopoli VOC oleh Jan Pieterzoon Coen.

Penyebabnya karena, secara umum, para penguasa menganggap orang-orang Tionghoa ini sebagai "kekurangan imajinasi

dan tidak mudah terpengaruh oleh dorongan sesaat."35 Secara praktis, penggunaan para pedagang Tionghoa di barisan terdepan

sistem penghisapan kolonialis ini sangatlah menguntungkan. Massa rakyat kemudian lebih banyak berurusan dengan para pedagang

Tionghoa ini ketimbang dengan para pejabat VOC. Rakyat kemudian melihat penguasa VOC sebagai penguasa politik.

Tapi, kaum pedagang Tionghoa sebagai penguasa ekonomi. Yang tampak mata oleh rakyat dari kelompok lain adalah

bahwa antara pedagang Tionghoa dengan VOC terdapat semacam pembagian kekuasaan (power sharing). Namun demikian,

sesungguhnya kaum pedagang Tionghoapun menjadi sapi perahan bagi penguasa Belanda. Berbagai macam pajak dikenakan

pada mereka. Khususnya, pajak-pajak yang berat dikenakan ketika perkembangan perdagangan yang dijalankan kaum Tionghoa

telah berkembang dengan pesat. Bahkan, menjelang perlawanan kaum Tionghoa di tahun 1740, VOC telah mengenakan pajak

untuk kuncir rambut.36 Untuk memastikan ketaatan, VOC menerapkan hukuman yang berat dan dilaksanakan di depan publik.

Dalam beberapa kasus, tercatat bahwa untuk kasus ketersinggungan saja, seorang Tionghoa dapat ditombak ke gerbang kota

dan dibiarkan mati kehabisan darah.37 Perbenturan kepentingan antara VOC dengan kaum pedagang Tionghoa akhirnya menemui

titik ledaknya di awal abad ke 18. Pada saat-saat ini, harga rempah-rempah mengalami penurunan. Pasar Eropa menuntut komoditi

yang bersifat perkebunan seperti gula, kopi, coklat, dan teh. Pada saat itu, kaum pedagang Tionghoa telah mengakumulasi modal

cukup besar untuk menyewa tanah-tanah yang dikuasai oleh VOC. Para pedagang Tionghoa ini akan mengembangkan watak kelasnya

ke arah borjuasi sejati, yaitu pengusaha (walaupun baru di tahap perkebunan, seperti awal berkembangnya kapitalisme di Eropa).

Ini merupakan ancaman langsung bagi VOC yang juga hendak melebarkan sayap perkebunannya ke arah itu. Karena itu,

VOC harus memastikan sekali pukul bahwa para pedagang Tionghoa ini akan diam dan puas pada kedudukannya saat itu.

Maka, VOC kemudian melancarkan sebuah pembantaian (pogrom) yang menjadi kenyataan di tahun 1740.38 Pasca pembantaian 1740,

ketundukan kaum Tionghoa pada penguasa VOC (dan Hindia Belanda) menjadi kenyataan. Tidak ada lagi perlawanan terhadap

berbagai keputusan penguasa, sekalipun keputusan-keputusan itu sangat tidak adil sifatnya. Berlandaskan pembenaran

"pembasmian pemberontakan 1740", penguasa Belanda menerapkan berbagai sistem surat jalan, pembatasan pemukiman kaum Tionghoa

(yang praktis menempatkan mereka dalam ghetto, bahkan pemakaman untuk kaum Tionghoa juga harus dipisahkan dari mereka

yang "pribumi".39 VOC juga mengangkat berbagai orang Tionghoa untuk menjadi perwira-perwira, untuk memata-matai kaumnya sendiri

dan meyakinkan hanya bersama penguasa Belanda mereka akan aman. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi VOC untuk semakin

menyekat kaum Tionghoa ke sektor perdagangan.40 Inilah basis bagi anggapan umum saat ini bahwa kaum Tionghoa identik dengan

perdagangan. Dengan demikian, VOC telah menyelesaikan konsolidasi yang diperlukannya untuk kaum Tionghoa. Mereka telah berhasil

menundukkan kaum Tionghoa secara politik dan militer -sehingga tidak akan menjadi ancaman lagi di sektor ekonomi.

Sekaligus mereka berhasil menyekat keberadaan kaum Tionghoa. Penyekatan yang bermakna menempatkan kaum Tionghoa

sebagai garda depan penghisapan ekonomi kolonial. Penyekatan yang bermakna mengikat kesetiaan dan ketergantungan kaum Tionghoa

kepada penguasa. Penyekatan yang bermakna kebebasan untuk menghisap kaum Tionghoa itu sendiri.

Demikianlah kesadaran politik mayoritas kaum Tionghoa dibangun. Barulah setelah Sun Yat Sen bangkit di Tiongkok dengan

Revolusi Demokratik-nya, kaum Tionghoa Indonesia mengalami pergeseran dalam pandangan politik.

Ini akan kita lihat dalam bagian berikutnya.

 

1. Karso, drs; et. al. Pelajaran Sejarah untuk SMTA kelas I. Cetakan II. Bandung. Penerbit Angkasa. 1987. Hal. 6.

2. Hall, D.H.G. Sejarah Asia Tenggara. Cetakan I. Surabaya. Penerbit Usaha Nasional. Hal 7.

3. Karso, drs. et. al. (1987). Hal 15.

4. Ini merupakan kesimpulan yang ditarik dari hukum perkembangan masyarakat. Mengenai persoalan perhambaan itu, kita dapat dengan aman menarik kesimpulan pendahulu bahwa mereka yang datang dengan perahu-perahu bercadik dari daratan Asia itu tentunya adalah kaum pria, yang secara fisik lebih kuat untuk menempuh perjalanan jauh di rute yang belum terpetakan sebelumnya itu. Ditambah dengan kebiasaan yang telah diketahui umum bahwa para penakluk biasanya merampas para wanita untuk dijadikan harem, kita dapatlah kiranya menarik kesimpulan bahwa hal itu juga terjadi di tanah Nusantara beribu tahun yang lalu.

5. Karsono, Eddy, drs. Sejarah untuk SLTP kelas I. Bandung. Penerbit M2S. hal. 35.

6. Karso, drs. et. al. (1987). Hal 15.

7. Staurianos, L.S. The World to 1500, Global History. 2nd edition. New Jersey. Prentice-Hall, Inc. 1975. Hal 25-35.

8. Eddy Karsono, drs. Sejarah, untuk SLTP kelas I. Bandung. Penerbit M2S.

9. Hall, D.G.E. Sejarah Asia Tenggara. Cetakan I. Surabaya. Penerbit Usaha Nasional. 1988. hal. 8

10. H.M.Vlekke berkomentar :"Di suatu desa, tampak penduduk yang jelas bertampang semit, dan yang lebih tua diantara mereka menyerupai tampang raja-raja Assyria yang berjenggot, seperti dapat dilihat dalam patung-patung peninggalan niniveh. Di desa tetangga, tampak penduduk yang sama jelasnya bertampang negroid. Sungguh tak ada barang satu pulaupun, betapa kecil pun ukurannya, yang penduduknya tidak bercampur secara ras. (Simbolon.1995.H.375)

11. Manusia Indonesia Purba hidup 40.000 tahun lalu. Itu berarti 400 abad kali hidupnya tiga generasi (kakek-anak-cucu) manusia Nusantara sampai tahun pertama masehi. Itu berarti mustahil bahwa manusia yang menjadi rakyat kerajaan Mulawarman pada tahun 400 merupakan kerturunan langsung manusia Ngandong. (Simbolon.1995.H.374).

12. Pramoedya Ananta Toer. Hoakiau di Indonesia. Jakarta. Garba Budaya. 1998. Hal. 61

13. Elaine McKay (ed). Studies in Indonesian History. Carlton, Australia. Pitman House. 1976. Hal 70.

14. Prijohutomo, Dr. dan PJ Reimer. Tentang Orang dan Kedjadian jang Besar, djilid I. Cetakan ke-5. Jakarta-Amsterdam. W Versluys NV. Hal 14

15. Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indonesia, buku I "Akar-akar Kebangsaan Indonesia". Cetakan I. Jakarta. Kompas-Grasindo. 1995. Hal 8-9.

16. Seperti dikatakan oleh Chau Ju Kua, seorang penulis Tiongkok, di pertengahan abad ke-13. Dikutip dalam Elaine McKay (ed) (1976). Hal 75.

17. Ibid. Hal 75.

18. Ibid. Hal 98-99. Meriam-meriam Eropa adalah hasil transfer teknologi dari Tiongkok, yang didapat melalui ekspedisi Marco Polo. Pramudya berpendapat bahwa pada saat itu kapal-kapal Majapahit telah pula diperlengkapi dengan meriam, karena mereka juga telah berhubungan dengan Tiongkok sejak lama. Namun, penemuan teknologi logam telah membuat perbedaan yang menentukan dalam perebutan Selat Malaka. Selain itu, armada Portugis juga diperlengkapi dengan musket, sejenis senapan primitif, yang merupakan pengembangan dari teknologi meriam.

19. Slavery harus dibedakan dari serfdom, di mana istilah yang kedua lebih tepat disebut perhambaan. Seorang hamba sahaya yakin sepenuhnya akan status perhambaannya, seorang hamba pun tidak dimiliki oleh tuannya secara hidup-mati (kecuali para tahanan kriminal atau perang yang diperbudakkan pada jaman keemasan imperium Eropa). Selain itu, seorang hamba sahaya menerima pembagian tanah untuk dikerjakannya. Kaum bangsawan tinggal memungut upeti dari tanah-tanah itu. Seorang budak bahkan tidak memiliki hak hidup.

20. Saat ini, orang sudah tidak dapat lagi percaya tentang konsepsi bahwa ada perbedaan mendasar secara fisiologis antar berbagai keturunan manusia. Lihatlah Microsoft(r)Encarta(r)Africana 1999 tentang hal itu.

21. Elaine McKay (ed) (1976). Hal 99.

22. Pramudya menulis bahwa beberapa kali terjadi aliansi taktis antara berbagai macam kerajaan, baik di Jawa maupun Sumatera. Namun, aliansi-aliansi ini bersifat rapuh karena perselisihan di antara elemen-elemen aliansi tidak terselesaikan. Perselisihan ini membuat persekutuan-persekutuan pecah sebelum mencapai kemenangan. Bahkan, kadang kala, perpecahan ini justru terjadi di tengah medan pertempuran. Pemusatan kekuasaan ekonomi dan politik di satu tangan ternyata berakibat buruk bagi kemampuan penguasa untuk melakukan aliansi dengan penguasa lainnya.

23. "Pribumi" di sini mengacu pada pengertian "penduduk atau kawula kerajaan bersangkutan." Lihatlah pula pembahasan Ong Eng Die, "Peranan Orang Tionghoa dalam Perdagangan", dalam Tan, Melly G. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, suatu Masalah dalam Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta. Gramedia. 1979. Hal 36. Perhatikan bahwa "Pedagang Tionghoa hanya terdapat di tempat-tempat di mana jasa-jasanya dibutuhkan...."

24. Data tentang proses ini, termasuk permulaan masuknya para penetap dari Tiongkok, didapat dari Liem Twan Djie, Dr. Pembahasan Buku tentang Sedjarah Perkembangan Pedagang2 Tionghoa di Indonesia. Tanpa Kota Penerbit. Alva Study Club. Tanpa tahun. Proses dialektika perkembangannya dikaji melalui hukum-hukum perkembangan masyarakat dengan mengacu pada perkembangan kelas borjuasi di Eropa.

25. Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indonesia, Buku I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia. Cetakan I. Jakarta. Kompas-Grasindo. 1995. Hal 32-35. 26 Alexander, Garth. Silent Invasion, the Chinese in South East Asia. London. McDonald. Hal 7.

27. Simbolon, Parakitri T (1995) Hal 39.

28. Liem Twan Djie, Dr. Pembahasan Buku tentang Sedjarah Perkembangan Pedagang2 Tionghoa di Indonesia. Tanpa Kota Penerbit. Alva Study Club. Tanpa tahun. Hal 13

29. Ibid. Hal 12. Disebutkan bahwa "Peranan pedagang2 distribusi orang Tionghoa di Djawa berobah sama sekali. Sebelumnya mereka adalah pedagang2 perantara antara pedagang2 besar Tionghoa dengan penduduk, kemudian mendjadi peagang perantara antara V.O.C. dengan penduduk. V.O.C. pada kenjataannja disamping mendjadi satu2nja pedagang besar untuk pembelian barang2 hasil penduduk, djuga mendjadi satu2nja pedagang distribusi (pendjualan) untuk barang2 jang berasal dari Eropah, dan terhadap pedagang2 Tionghoa diber kesempatan untuk mendjual atau berdagang dg. Barang2 jang berasal dari Tiongkok." Terlihat bahwa VOC penggunaan pedagang-pedagang bangsa Tionghoa memang berkaitan erat dengan upaya untuk merebut monopoli perdagangan.

30. Simbolon, Parakitri T (1995) Hal 36-53.

31. Lihat catatan pada bagian sebelumnya mengenai perkembangan konsepsi ras. Konsepsi yang dipergunakan dalam konteks di buku ini menggunakan konsepsi salah yang sementara ini masih diterima oleh umum. Ini dilakukan semata-mata karena belum ada konsepsi baru yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan dan memasok kesadaran khalayak tentang "ras."

32. Ibid. hal 48.

33. Ibid. hal 52.

34. Persoalan perdagangan eceran ini mempunyai implikasi yang serius. Pertama, konsentrasi di bidang eceran ini dengan tegas membuat barikade terhadap semangat industrialisasi yang akan timbul pada masa-masa sesudahnya. Perdagangan eceran ini adalah basis bagi tumbuhnya kelas borjuis kecil (petty borgeouisie), bukan kelas kapitalis murni. Kedua, banyak jalur perdagangan eceran inipun diperoleh setelah ijin monopoli dikeluarkan oleh penguasa VOC maupun Hindia Belanda. Ini juga akan menjadi basis bagi tumbuhnya kelas borjuasi yang bergantung pada state untuk perkembangan usahanya.

35. Alexander, Garth. Silent Invasion, the Chinese in South East Asia. London. McDonald. Hal 18.

36. Kemasang, ART. "The 1740 Chinese Slaughters in Java; Officially Orchestrated Pogroms". Kabar Seberang edisi 16. 1985. Hal 66.

37. Ibid. Hal 66-67.

38. Seluruh argumen bahwa peristiwa 1740 adalah sebuah orkestrasi, lihat Kemasang, ART (1985).

39. Ibid. hal 85

40. Ong Eng Die (1979) hal 30.